Latar Belakang
Pendidikan pra nikah
dalam situasi dan kondisi anak muda jaman sekarang itu sangat penting dalam
pemberian materi pendidikan pra nikah,
Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk
tidak tergesa-gesa dalam segala tindakannya. Akan tetapi, ada sesuatu yang
justru Islam menganjurkan untuk bersegera dilakukan. Setidaknya ada lima perkara: mengubur
jenazah, membayar hutang, menghidangkan jamuan untuk musafir yang berkunjung,
bertaubat, dan menikah.
Sudah merupakan fitrah manusia untuk mencintai
lawan jenis, baik pria maupun wanita. Allah sendiri berfirman dalam surat Ali Imran “Dijadikan
terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa
perempuan –perempuan, anak-anak, …” Islam sebagai agama yang haq dan
sempurna sudah tentu mempunyai koridor dan batasan bagaimana me-manage rasa
cinta kepada lawan jenis. Dan satu-satunya solusi yang ditawarkan adalah
melalui ikatan suci pernikahan. Bahkan kedudukan nikah dijelaskan oleh
Rasulullah SAW “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari
agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang
separuhnya lagi”. (HR. Thabrani dan Hakim).
Menikah terlihat mudah, tetapi sebenarnya urusan
ini cukup pelik dan menuntut perhatian yang lebih. Perlu banyak bekal untuk
menuju ke sana.
Ambilah contoh betapa rumitnya ketika membuat sebuah rumah hunian. Membangunnya
dibutuhkan perencanaan yang matang mulai dari pemilihan lokasi, bentuk
bangunan, material yang digunakan, estimasi anggaran, sampai rincian lainnya.
Hal tersebut dilakukan agar rumah yang dihasilkan adalah bangunan yang kokoh
dan bagus. Jika membangun rumah yang notabene adalah untuk tujuan dunia perlu
perencanaan yang baik, maka untuk membangun rumah tangga tentunya akan lebih
membutuhkan persiapan yang benar-benar matang. Karena rumah tangga ini
harapannya tidak hanya untuk tujuan dunia tetapi juga di akhirat kelak.
Jika umur umat Islam adalah 60 – 70 tahun, sesuai
sabda Rasulullah SAW, “Umur umatku adalah antara 60 tahun hingga 70 tahun” dan
menurut statistik, rata-rata usia menikah penduduk Indonesia adalah pada usia
25 – 27 tahun, berarti sesorang akan mengarungi kehidupan berumah tangga selama
sekitar 35 tahun atau dengan kata lain separuh lebih usia hidup di dunia akan
dihabiskan dengan orang baru yaitu istri atau suami. Bisa dibayangkan ketika
salah perhitungan dalam perencanaan rumah tangga, masa depan suram akan
menunggu di depan mata, baik di dunia lebih-lebih di akhirat.
Rumusan Masalah
- Tujuan pernikahan dalam pandangan
Islam
- Kurikulum pendidikan pra-nikah
- Pendidikan pra-nikah bagi remaja
- Manfaat melakukan tes keseatan
sebelum nikah
Tujuan
- Untuk lebih mengetahui pendidikan
pra-nikah
- Menambah ilmu dalam materi pendidikan
pra-nikah dalam islam
Pentingnya Pendidikan Pra Nikah di Bangku Kuliah
I. Kejayaan Islam terwujud melalui pernikahan.
Salah satu tujuan pernikahan di samping beribadah
kepada Allah SWT serta tempat menyalurkan gharizah insaniyah (naluri
kemanusiaan) yang halal, juga bertujuan untuk mempunyai keturunan. Pernikahan
yang berkualitas akan menghasilkan keturunan yang qualified pula. Psikolog
Abigael Wohing Ati memaparkan yang dimaksud pernikahan berkualitas adalah
kondisi di mana dengan pernikahan dapat menghasilkan kebahagiaan, keseuaian
serta kestabilan pernikahan. Sedangkan tingkat kualitas pernikahan sendiri
dipengaruhi oleh faktor seperti komposisi optimal keluarga, siklus kehidupan
keluarga, kelayakan sosioekonomi dan kesesuaian peran, faktor sumber daya
sosial dan pribadi suami istri bahkan oleh kondisi pranikah. Menyinggung sedikit
mengenai kondisi pranikah, penelitian yang dilakukan Fakultas Psikologi Undip
Semarang, menyimpulkan bahwa kualitas pernikahan pasangan yang tidak membina
hubungan sebelum nikah (pacaran) adalah lebih tinggi dibanding pasutri yang
melakukan pacaran sebelum menikah.
Dalam Islam sendiri, pernikahan berkualitas akan
diukur dari proses pra, pas, dan pasca nikah. Bagaimana seseorang memulai
proses dari mencari calon istri atau suami hingga sampai aqad nikah dan pasca
nikah akan mempunyai keturunan, kesemuanya itu dibalut dalam syariat yang
jelas. Sehingga harapannya ketika mempunyai keturunan, adalah anak yang sholeh
dan sholehah, bisa memberikan kebermanfaatan untuk umat.
Seperti
contoh Umar bin Abdul Aziz. Salah seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, sampai-sampai
ahli sejarah Islam menjuluki beliau sebagai Khulafaur Rasyidin kelima setelah
Abu Bakar ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Gelar tersebut dirasa pantas mengingat prestasi yang dilakukan Umar bin
Abdul Aziz semasa menjadi khalifah pada era Dinasti Umayyah. Beliau berhasil
mengembalikan stabilitas negara sama seperti pada masa Khulafaur Rasyidin.
Dikisahkan pada saat itu tidak ada siapa pun umat Islam yang layak menerima
zakat. Kondisi tersebut tercapai hanya dalam tempo sekitar tiga tahun
pemerintahan.
Jika menelusuri silsilah Umar bin Abdul Aziz maka
dapat dilihat bahwa beliau lahir dari pasangan pernikahan yang luar biasa.
Kisah diawali ketika suatu malam Sahabat Umar bin Khattab yang saat itu menjadi
Khalifah sedang berkeliling melihat kondisi rakyatnya, tidak sengaja
mendengarkan percakapan Ibu dan anak. Si Ibu menyuruh menambahkan air pada susu
agar terlihat banyak, tetapi sang anak menolak. Umar bin Khattab kagum lalu
singkat cerita si anak perempuan tadi yang bernama Ummu Ammarah binti Sufyan
bin Abdullah bin Rabi’ah Ats-Tsaqafi dinikahkan dengan salah satu putranya yang
bernama Ashim. Dari pernikahan tersebut lahirlah gadis bernama Laila atau lebih
dikenal Ummu Ashim. Ummu Ashim seorang wanita yang shalihah lalu menikah dengan
Abdul Aziz bin Marwan seorang gubernur Bani Marwan. Dari pernikahan suci inilah
lahir seorang lelaki bernama Umar bin Abdul Aziz. Sang pemimpin umat Islam.
II. Kurikulum
Pendidikan Pra Nikah
Keluarga memang menjadi tempat paling penting
dalam penanaman ilmu keIslaman. Karena di sinilah anak akan belajar untuk
pertama kalinya sebelum memperoleh ilmu dari luar lingkungan keluarga.
Kerjasama yang baik antara Ayah dan Ibu sangat vital dalam proses tumbuh
kembang anak. Akan tetapi, peran keluarga sebagai insititusi pendidikan non
formal juga harus mendapat dukungan dari institusi pendidikan formal mulai dari
dasar hingga tingkat lanjut. Seperti dijelaskan di awal, bahwa pernikahan
adalah hal rumit dan ini harus dipaparkan dengan gamblang dari yang bersifat
umum hingga mendetil bagaimana Islam mengatur hal tersebut. Mungkin ada
permasalahan yang orangtua belum bisa menyampaikan dan harus disampaikan oleh
yang lebih ahli dan berilmu.
Perguruan tinggi sebagai salah satu institusi
pendidikan formal, lebih-lebih perguruan tinggi Islam harus mengambil peran
tersebut. Sebagai perguruan tinggi, tentunya institusi mempunyai tujuan agar
para lulusannya bisa meniti karir dengan sukses. Kurikulum dan segala
perangkatnya akan didesain sedemikian baik untuk menunjang harapan tersebut.
Kondisi terbalik ketika berbicara masalah keIslaman, utamanya pada institusi
pendidikan Islam, penyampaian ilmu agama termasuk diantaranya munakahat kurang
mendapat perhatian lebih. Ini bisa dilihat dari porsi belajarnya yang relatif
kecil. Sangat disayangkan jika para mahasiswa harus mencari ilmu agama di luar
kampus, padahal dalam kesehariannya mereka menuntut ilmu di kampus yang
berbasis agama. Sudah sepatutnya kondisi paradoks tersebut segera disikapi.
Padahal, kedudukan ilmu pengetahuan tentang
membina rumah tangga yang Islami mempunyai andil yang cukup besar dalam
kehidupan manusia. Apalah arti karir sukses jika di level rumah tangga hancur
berantakan karena tidak tahu bagaimana membinanya dalam bingkai Islam?
Bagaimana dia akan bisa menjadi manajer yang baik di perusahaan jika di rumah
dia gagal membina istri dan anak? Lebih menderita karena kegagalan membina
rumah, membina anak, akan berimbas pada nasib manusia di akhirat nanti. Dan
rasanya kurikulum pendidikan pra nikah lebih urgent serta layak diberikan
ketimbang sekedar menyampaikan pendidikan seks kepada remaja.
Maka cukuplah Rasulullah SAW menjadi suri
tauladan. Beliau adalah seorang pemimpin negara, pebisnis sukses, panglima
perang yang gagah berani, tetapi beliau juga adalah seorang suami yang baik,
dan ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya. Baik di dalam maupun luar rumah
beliau tetap menjadi idola.
III. Pendidikan Pra Nikah Bagi Remaja
Dalam situasi global saat ini dimana akses media
dan informasi sangat deras dan tidak terbendung maka secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi perilaku pada remaja baik berupa perilaku
positif maupun negatif. Hal tersebut disampaikam Bupati Kutai Kartanegara dalam
sambutannya yang dibacakan Assisten IV Bidang Kesejahteraan dan Humas Bahrul
S.Sos MM pada acara pembukaan pendidikan pra nikah bagi remaja dalam usaha
menuju keluarga sakinah yang diadakan bagian Kesra Kabupaten Kukar, Senin
(27/6) di Pendopo Bupati Kukar.
Lebih lanjut dikatakan Bahrul, remaja dengan karakteristik
fisik dan psikologis yang spesifik merupakan kelompok usia yang cenderung
rentan memiliki beragam permasalahan yang harus dihadapi dengan pendekatan
khusus. “Kematangan biologis pada usia remaja dalam arti kematangan alat-alat
reproduksi diikuti dengan ketertarikan dengan lawan jenis seringkari tidak
disertai dengan kematangan psikologis,” Tambah Bahrul.
Selanjutnya, Bahrul juga mengingatkan supaya
informasi tentang seks sebaiknya didapatkan langsung dari orang tua yang
memiliki perhatian khusus terhadap anak-anak mereka atau dari narasumber yang
berkompeten di bidangnya. “Oleh karena itulah perlu diadakan pendidikan
pranikah bagi remaja, seperti yang sedang kita lakukan sekarang ini,” pesan
Bahrul.
Disadari atau tidak, untuk mewujudkan keluarga
yang sejahtera dan bahagia memerlukan pendidikan, bimbingan dan nasihat baik
sebelum melangsungkan pernikahan maupun setelah berumah tangga.
Peserta yang mengikuti kegiatan seminar pendidikan
pra nikah bagi remaja dalam usaha menuju keluarga sakinah itu sendiri terdiri
dari para pelajar SMA/SMK/MA dan sederajat serta dari Akbid Kutai Husada dan
beberapa Mahasiswa dari Universitas Kutai Kartanegara. Sedangkan yang menjadi
narasumber Dokter J.N Adam dari Puskesmas Rapak Mahang, serta Perwakilan dari
Korwil Departemen Agama Kalimantan Timur.
IV. Manfaat melakukan tes kesehatan sebelum menikah
Semua tergantung dari niat dan tujuan akhir kita
semua (calon pasangan suami isteri) untuk melakukan pernikahan itu apa? Jadi
harus jelas, tegas dan mengikuti aturan agama. Seorang calon pengantin
perempuan telah membuat persiapan dengan matang, dan langsung ditanyakan dengan
dokter karena menyangkut kesehatn.
Pemeriksaan kesehatan yang dianjurkan untuk
pasangan yang akan menikah adalah pemeriksaan kesehatan secara umum, termasuk
penyakit menular seksual dan talasemia. Jangan lupa pada ruang konsultasi ini
juga berkali-kali dianjurkan untuk pemeriksaan HIV pada ibu hamil karena
sekarang tersedia cara pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayinya.
Sebelum menikah juga perlu vaksinasi tetanus pada
calon pengantin perempuan. Di samping itu, jangan lupa apakah Anda telah pernah
menjalani vaksinasi rubella (campak jerman). Vaksinasi ini penting pada
perempuan muda karena dapat mencegah terjadinya rubella kongenital pada bayi
yang akan lahir. Seperti diketahui, bayi yang mengalami rubella kongenital
dapat mengalami cacat bahkan kematian.
Komunikasi antara suami dan istri amat penting.
Sering kali kita merasa komunikasi adalah masalah ringan dan sebagian orang
beranggapan telah menguasainya. Sekarang semakin disadari keterampilan
komunikasi amatlah penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan
rumah tangga. Di rumah tangga perlu komunikasi yang baik antara suami dan
istri, ayah atau ibu dengan anak. Juga komunikasi dengan penghuni lain di
rumah. Acapkali kurang komunikasi atau komunikasi yang tak baik dalam rumah
tangga menyebabkan pertengkaran bahkan perceraian.
V. Kaum
Laki-Laki(Suami) Adalah Pemimpin Bagi Kaum Wanita(Istri)
Membangun kehidupan
rumah tangga yang harmonis memang menjadi dambaan. Namun tentu saja untuk
mencapainya bukan persoalan mudah. Butuh kesiapan dalam banyak hal terutama
dari sisi ilmu agama. Sesuatu yang mesti dipunyai seorang istri, terlebih sang
suami.
Tidak salah jika ada yang mengatakan bahwa menikah
berarti menjalani hidup baru. Karena dalam kehidupan pasca-pernikahan memang
dijumpai banyak hal yang sebelumnya tidak didapatkan saat melajang. Tentunya
semua itu bisa dirasakan oleh mereka yang telah membangun mahligai rumah
tangga.
Pernikahan juga merupakan kehidupan orang dewasa.
Sebab, banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan pikiran orang
yang dewasa, bukan dengan pikiran kanak-kanak. Masalah hubungan suami-istri,
pendidikan anak, ekonomi keluarga, hubungan kemasyarakatan, dan lain
sebagainya, mau tidak mau akan hadir dalam kehidupan mereka yang telah
berkeluarga.
Maka, tidak salah pula bila dikatakan untuk
menikah itu butuh ilmu syar‘i, baik pihak istri maupun pihak suami sebagai
qawwam (pemimpin) bagi keluarganya. Karena dengan ilmu yang disertai amalan,
akan tegak segala urusan dan akan lurus jalan kehidupan. Namun sangat
disayangkan, sisi yang satu ini sering luput dari persiapan dan sering
terabaikan, baik sebelum pernikahan terlebih lagi pasca-pernikahan.
- Pendidikan Keluarga
Allah
berfirman:
“Kaum laki-laki (suami) adalah qawwam bagi kaum
wanita (istri).”
(an-Nisa’: 34)
Salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah
memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka
dari penyimpangan, serta mengenalkan mereka kepada kebenaran. Karena Allah SAW
telah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri
kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu.”
(at-Tahrim: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam
butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari,
memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah l, serta
melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari
keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah SWT. Bila ia
mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir
ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma‘ani, 28/156)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t
berkata, “Menjaga jiwa dari api neraka bisa dilakukan dengan mengharuskan jiwa
tersebut untuk berpegang dengan perintah Allah SWT, melaksanakan apa yang
diperintahkan, menjauhi apa yang dilarang, serta bertaubat dari perkara yang
mendatangkan murka dan azab-Nya. Di samping itu, menjaga istri dan anak-anak
dilakukan dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta memaksa mereka untuk
menaati perintah Allah SWT. Seorang hamba tidak akan selamat kecuali bila ia
menegakkan perkara Allah SWT pada dirinya dan pada orang-orang yang berada di
bawah perwaliannya seperti istri, anak-anak, dan selain mereka.” (Tafsir
al-Karimir Rahman, hlm. 874)
Ayat ini menunjukkan wajibnya suami mengajari
anak-anak dan istri tentang perkara agama, kebaikan, serta adab yang
dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah SWT kepada Nabi-Nya :
“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan
shalat dan bersabarlah dalam menegakkannya.” (Thaha: 132)
“Berilah peringatan kepada karib kerabatmu yang
terdekat.” (asy-Syu’ara: 214)
Ini menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan
kita memiliki kelebihan dibandingkan lainnya dalam hal memperoleh pengajaran
dan pengarahan untuk taat kepada Allah SWT. (Ahkamul Qur’an, 3/697)
Malik Ibnul Huwairits z mengabarkan, “Kami
mendatangi Rasulullah dan ketika itu
kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di
Kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau n adalah seorang yang
penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami
telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka.
Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun
meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau n bersabda:
“Kembalilah
kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka,
serta perintahkanlah mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 628 dan Muslim no.
674)
Dalam hadits di atas, Nabi memerintahkan kepada sahabatnya untuk
memberikan taklim (pengajaran) kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka
ilmu yang didapatkan saat bermajelis dengan seorang alim.
Dengan
penjelasan yang telah lewat, dapat dipahami bahwa seorang suami/ kepala rumah
tangga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik anak istrinya, mengarahkan
mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari penyimpangan.
Namun sangat disayangkan, kenyataan yang kita
lihat banyak kepala keluarga yang melalaikan hal ini. Yang ada di benak mereka
hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi keluarganya semata sehingga
mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual
tidak masuk dalam hitungan. Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta
dunia, bersenang-senang dengannya, namun bersamaan dengan itu mereka tidak
mengerti tentang agama.
Paling tidak, bila seorang suami tidak bisa
mengajari keluarganya, mungkin karena kesibukannya atau keterbatasan ilmunya,
ia mencarikan pengajar agama untuk anak istrinya, atau mengajak istrinya ke
majelis taklim, menyediakan buku-buku agama, kaset-kaset ceramah/taklim sesuai
dengan kemampuannya, serta menganjurkan keluarganya untuk membaca/mendengarnya.
- Mendidik Istri
Memasuki masa-masa awal pernikahan, semestinya
seorang suami telah merencanakan pendidikan agama bagi istrinya. Minimalnya ia
mempunyai pandangan ke arah sana.
Sebelum menjadi seorang ayah, semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk
menjadi pendidik anak-anaknya kelak karena
“Ibu adalah
madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya,” kata penyair Arab.
Perlu juga diperhatikan bahwa
mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri yang seharusnya
ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang harus ditunaikan
walinya. Namun pada praktiknya, hak ini seringkali tidak terpenuhi sebagaimana
mestinya. Sehingga tepat sekali ucapan asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i t
yang membagi manusia menjadi tiga macam dalam mengurusi wanita:
Pertama:
Mereka yang melepaskan wanita begitu saja sekehendaknya, membiarkannya
bepergian jauh tanpa mahram, bercampur-baur di sekolah-sekolah dan perguruan
tinggi, di tempat kerja seperti kantor dan rumah sakit. Sehingga mengakibatkan
rusaknya keadaan kaum muslimin.
Kedua:
Mereka yang menyia-nyiakan wanita tanpa taklim, membiarkannya seperti binatang
ternak, sehingga tidak tahu sedikit pun kewajiban yang Allah SWT bebankan
atasnya. Wanita seperti ini akan menjatuhkan dirinya kepada fitnah dan
penyelisihan terhadap perintah-perintah Allah SWT, bahkan akan merusak
keluarganya.
Ketiga:
Mereka yang memberikan pengajaran agama kepada wanita sesuai dengan kandungan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena melaksanakan perintah Allah SWT:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri
kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu.” (at-Tahrim: 6)
setiap kalian akan ditanya/dimintai
tanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.”2 (Sahih, HR. al-Bukhari no. 893 dan Muslim
no. 1829) [Nashihati lin Nisa’, Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah, hlm. 7—8]
Seorang istri perlu diajari tentang perkara yang
dibutuhkannya dalam kehidupan sehari-hari, siang dan malamnya. Tentang tauhid,
bahaya syirik, maksiat, dan penyakit-penyakit hati berikut pengobatannya.
Rasulullah n sendiri menyediakan waktu khusus untuk mengajari para wanita. Abu
Sa’id al-Khudri z mengisahkan tentang kedatangan seorang wanita kepada
Rasulullah , lalu ia berkata,
“Wahai
Rasulullah! Kaum laki-laki telah pergi membawa haditsmu, maka berikanlah untuk
kami satu hari yang khusus di mana kami dapat mendatangimu untuk belajar
kepadamu dari ilmu yang telah Allah ajarkan kepadamu.” Beliau pun bersabda,
“Berkumpullah kalian pada hari ini dan itu, di tempat ini (yakni beliau
menyebutkan waktu dan tempat tertentu).” Hingga mereka pun berkumpul pada hari
dan tempat yang dijanjikan untuk mengambil ilmu dari beliau sesuai dengan apa
yang diajarkan Allah SWT kepada beliau. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 101 dan
Muslim no. 2633)
Bahkan istri-istri Rasulullah “lahir” dari madrasah nubuwwah dan mereka
menuai bekal ilmu yang banyak, terutama Ummul Mukminin Aisyah yang besar dalam asuhan madrasah yang mulia
ini. Sepeninggal suami mereka, Rasulullah n, mereka menjadi pendidik umat
bersama dengan para sahabat yang lain. Semoga Allah SWT meridhai mereka.
- Gambaran Pengajaran Seorang Alim
terhadap Keluarganya
Para pendahulu kita yang saleh (salafunash shalih)
sangat mementingkan pendidikan agama bagi keluarga mereka. Di samping mereka
berdakwah kepada umat di luar rumah, mereka juga tidak melupakan orang-orang
yang berada dalam rumah mereka (keluarga). Tidak seperti kebanyakan manusia
pada hari ini yang sibuk dengan urusan mereka di luar rumah sehingga melalaikan
pendidikan istrinya.
Bahkan sangat disayangkan hal ini
juga menimpa keluarga da’i. Ia sibuk berdakwah kepada masyarakatnya sementara
istrinya di rumah tidak mengerti tata cara shalat yang diajarkan oleh Nabi ,
tidak tahu cara menghilangkan najis, dan sebagainya. Yang lebih parah, istri
atau anaknya tidak mengerti tentang tauhid dan syirik3. Bandingkan dengan apa
yang ada pada salaf!
Lihatlah keluarga al-Hafizh Ibnu
Hajar al-‘Asqalani t. Beliau demikian bersemangat menyebarkan ilmu di tengah
keluarga dan kerabatnya sebagaimana semangatnya menyampaikan ilmu kepada orang
lain. Kesibukan beliau dalam dakwah di luar rumah dan dalam menulis ilmu
tidaklah melalaikan beliau untuk memberi taklim kepada keluarganya. Dari hasil
pendidikan ini, lahirlah dari keluarga beliau orang-orang yang terkenal dalam
ilmu, khususnya ilmu hadits, seperti saudara perempuannya, Sittir Rakb bintu
‘Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar al-’Asqalani, istrinya Uns bintu
al-Qadhi Karimuddin Abdul Karim bin ‘Abdil ‘Aziz, putrinya Zain Khatun, Farhah,
Fathimah, ‘Aliyah, dan Rabi’ah. (Inayatun Nisa’ bil Haditsin Nabawi, hlm.
126—127)
Lihat pula bagaimana Sa’id Ibnul
Musayyab membesarkan dan mengasuh
putrinya dalam buaian ilmu. Hingga ketika menikah, suaminya mengatakan ia
mendapati istrinya adalah orang yang paling hafal dengan kitabullah, paling
mengilmuinya, dan paling tahu tentang hak suami. (al-Hilyah, 2/167—168,
as-Siyar, 4/233—234)
Demikian pula kisah keilmuan putri al-Imam Malik
t. Dengan bimbingan ayahnya, ia dapat menghafal al-Muwaththa’ karya sang Imam.
Bila ada murid al-Imam Malik membacakan al-Muwaththa’ di hadapan beliau,
putrinya berdiri di belakang pintu mendengarkan bacaan tersebut. Hingga ketika
ada kekeliruan dalam bacaan ia memberi isyarat kepada ayahnya dengan mengetuk
pintu. Maka ayahnya (al-Imam Malik) pun berkata kepada si pembaca, “Ulangi
bacaanmu, karena ada kekeliruan.” (Inayatun Nisa’, hlm. 121)
Perhatian pendahulu kita rahimahumullah terhadap
pendidikan keluarganya ternyata juga kita dapatkan dari ulama yang hidup di
zaman kita ini, seperti asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i t. Dalam sehari,
beliau menyempatkan waktu untuk mengajari anak-istrinya tentang perkara-perkara
agama yang mereka butuhkan, hingga mereka mapan dalam ilmu dan dapat memberi
faedah kepada saudara mereka sesama muslimah dalam majelis yang mereka adakan
atau dari karya tulis yang mereka hasilkan.
Daftar Pustaka